Jumat, 02 November 2012

Kehadiran Novelis Perempuan


KEHADIRAN NOVELIS PEREMPUAN DALAM SASTRA INDONESIA TAHUN 2000-AN: DEKONSTRUKSI TERHADAP SISTEM PATRIARKAT DAN PENCARIAN IDENTITAS
1.      Novelis Perempuan Periode 2000-an: Dekontruksi terhadap Sejarah Sastra Indonesia yang Patriarkat
Terbitnya novel Saman (1999) karya Ayu Utami yang semula merupakan juara pertama lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998, disusul dengan novel Dadaisme (2003) karya Dewi Sartika, Geni Jora (2003) karya Abidah El-Khalieqy, dan Tabularasa (2003) karya Ratih Kumala- sebagai juara pertama, kedua dan ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2003 telah memunculkan pendapat dari beberapa kritikus dan pembaca bahwa masa depan novel Indonesia akan berada di tangan para penulis perempuan. Sapardi Djoko Damono (Kompas, 2004) mengemukakan bahwa masa depan novel Indonesia ada di tangan perempuan. Sementara itu, Wahyudi (Srintil, 2005) menyatakan bahwa munculnya sejumlah nama pengarang perempuan mengindikasikan akan munculnya generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang mampu melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe yang merendahkan mereka. Di samping Ayu Utami, sejumlah nama novelis perempuan yang berkarya pada periode 2000-an antara lain Dee (Dewi Lestari), Eliza V. Handayani, Nova Riyanti Yusuf, Herlinatiens, Dewi Sartika, Abidah El-Khalieqy, Ratih Kumala, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Naning Pranoto, Ani Sekarningsih, Nukila Amal, Dinar Rahayu, Sekar Ayu Asmara dan sejumlah nama lainnya. Kenyataan tersebut menunjukkan adanya booming novelis perempuan dalam perkembangan penulisan novel Indonesia pada 2000-an, yang belum pernah terjadi pada periode sebelumnya.
Tema yang diangkat dalam sejumlah novel karya perempuan pada masa ini, yaitu: pertama, yang paling dominan adalah tema sosial yang dibedah dalam bingkai feminisme untuk melawan dominasi patriarkat dan kekerasan terhadap perempuan (Saman dan Larung karya Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora karya Abidah El Khalieqy, Tarian Bumi dan Kenanga karya Oka Rusmini, Wajah Sebuah Vagina karya Naning Pranoto dan Namaku Teweeaut karya Ani Sekarningsih). Kedua, tema seksualitas, terutama lesbian, gay, dan transeksual (Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens, Supernova karya Dewi Lestari, Tabularasa karya Ratih Kumala). Ketiga, tema kejiwaan, terutama gangguan kejiwaan (Mahadewa Mahadewi karya Nova Riyanti Yusuf, Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Nayla karya Djenar Maesa Ayu). Keempat, tema kehidupan global, terutama ketika seorang perempuan Indonesia yang tinggal di luar negeri memilih menikah dengan laki-laki dari bangsa lain (trilogi Jendela-Jendela karya Fira Basuki).
Dari segi kuantitas, 45 novelis selama 62 tahun tentu bukanlah jumlah yang banyak, apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah novelis laki-laki. Di samping kuantitas novelis perempuan yang terbatas, kreativitas dan karya-karya mereka juga amat jarang dibicarakan dalam buku-buku sejarah sastra. Beberapa buku sejarah sastra Indonesia modern yang ada dan digunakan dalam pembelajaran selama ini, misalnya buku Perkembangan Novel Indonesia Modern karya Umar Junus (1984 tidak membicarakan para pengarang perempuan dan karyanya). Teeuw dalam Sastra Baru Indonesia (1980) dan Sastra Indonesia Modern II (1989) memang tidak melupakan kehadiran para pengarang perempuan dalam penulisan sastra Indonesia, tetapi sebagian besar dari mereka, kecuali NH. Dini, Rahayu Prihatmi, dan Titis Basino, dikategorikan dalam penulis sastra (fiksi) pop, dengan nilai sastra yang cenderung rendah (Teuuw, 1989:177-179).
Munculnya sejumlah penulis perempuan dalam panggung sastra Indonesia tersebut tampaknya bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan transformasi sosiokultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil perjuangan para feminis yang menuntut eksistensi perempuan dalam kesetaraan gender. Kehadiran mereka dalam kancah penulisan sastra (novel) menunjukkan adanya upaya dekonstruksi terhadap sistem patriarkat yang selama ini telah melahirkan para novelis laki-laki yang telah menguasai sejarah sastra.
2.      Upaya Pencarian Identitas
Sitok Srengenge menganggap kemunculan perempuan sastrawan, tak lebih sebagai trend belaka. Menurutnya, heboh yang terjadi kebanyakan  bukan oleh kualitas yang mereka tunjukkan. Melainkan faktor-faktor lain yang berada di luar kesusastraan. Sitok mencontohkan Ayu Utami dengan karyanya Saman (Suara Merdeka, 2 Maret 2006). Faruk (seperti dikutip Kompas, 7 Maret 2004) menganggap munculnya para penulis perempuan berhubungan dengan perkembangan masyarakat industri. Setelah industri berkembang semakin maju, banyak kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas, tidak berminat menekuni sastra. Industrialisasi membuat para kaum lelaki menjadi sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang dibanding sektor sastra. Bersamaan dengan itu, pendidikan yang telah tersedia luas baik bagi laki-laki maupun perempuan sejak 1950, mulai memiliki efek. Di akhir 1960-an, kaum perempuan, sebagai kelompok nonproduktif  alias konsumtif, merupakan pangsa pasar potensial yang besar bagi dunia percetakan. Karena bagi mayoritas perempuan membaca adalah kegiatan mengisi luang, mereka membaca untuk hiburan. Banyaknya waktu luang yang dimiliki perempuan membuat mereka tergerak untuk menulis. Namun karya-karya yang dihasilkan berasal dari catatan harian mereka. Maka dari itu, mereka banyak berbicara mengenai anak-anak dan lakum perempuan. David Krisna Alka (Sinar Harapan, 7 Maret 2004 “ Sastra Indonesia, Bukan Gaya Seks,” yang mengatakan karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan teman-temannya sebagai karya yang antiintelektualisme, karena karya-karya tersebut menjadikan imajinasi seks yang begitu liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan lain yang lebih mencerdaskan dan menyandarkan daripada mengarang sebuah selangkangan. Nada yang sama juga dilontarkan oleh seorang sastrawan dan kritikus senior, Sunarayono Basuki K.S. (Kompas, 4 April 2004, “seks, sastra, kita”), yang menanggapi karya-karya sastrawan perempuan seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan teman-temannya yang memilih mengeksploitasi seks dan tubuh mereka agar cepat populer dan dikenal secara luas. Dalam hal ini Basuki juga menyarankan agar para sastrawan perempuan muda tersebut juga mengeksploitasi masalah-masalah sosial yang tak kunjung tuntas. Di samping itu, ada juga yang menyebut karya-karya para perempuan tersebut sebagai “sastra wangi” atau “sastra lendir”, dengan konotasi yang cenderung meremehkan (Budiman, 2005).
Munculnya berbagai tanggapan negatif terhadap kreativitas dan karya para penulis perempuan tersebut, menunjukkan masih dominannya kultur patriarkat, sehingga mereka belum rela memberikan pengakuan terhadap kreativitas perempuan di sektor publik. Ketidakadilan gender tampak jelas pada tanggapan-tanggapan tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar