KEHADIRAN NOVELIS PEREMPUAN DALAM
SASTRA INDONESIA TAHUN 2000-AN: DEKONSTRUKSI TERHADAP SISTEM PATRIARKAT DAN
PENCARIAN IDENTITAS
1.
Novelis
Perempuan Periode 2000-an: Dekontruksi terhadap Sejarah Sastra Indonesia yang
Patriarkat
Terbitnya novel Saman (1999) karya Ayu
Utami yang semula merupakan juara pertama lomba penulisan novel Dewan Kesenian
Jakarta 1998, disusul dengan novel Dadaisme (2003) karya Dewi Sartika, Geni
Jora (2003) karya Abidah El-Khalieqy, dan Tabularasa (2003) karya Ratih Kumala-
sebagai juara pertama, kedua dan ketiga lomba penulisan novel Dewan Kesenian
Jakarta tahun 2003 telah memunculkan pendapat dari beberapa kritikus dan
pembaca bahwa masa depan novel Indonesia akan berada di tangan para penulis
perempuan. Sapardi Djoko Damono (Kompas, 2004) mengemukakan bahwa masa depan
novel Indonesia ada di tangan perempuan. Sementara itu, Wahyudi (Srintil, 2005)
menyatakan bahwa munculnya sejumlah nama pengarang perempuan mengindikasikan
akan munculnya generasi baru para perempuan pengarang di Indonesia yang mampu
melepaskan diri dari anggapan atau stereotipe-stereotipe yang merendahkan
mereka. Di samping Ayu Utami, sejumlah nama novelis perempuan yang berkarya
pada periode 2000-an antara lain Dee (Dewi Lestari), Eliza V. Handayani, Nova
Riyanti Yusuf, Herlinatiens, Dewi Sartika, Abidah El-Khalieqy, Ratih Kumala,
Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Naning Pranoto, Ani Sekarningsih,
Nukila Amal, Dinar Rahayu, Sekar Ayu Asmara dan sejumlah nama lainnya.
Kenyataan tersebut menunjukkan adanya booming novelis perempuan dalam
perkembangan penulisan novel Indonesia pada 2000-an, yang belum pernah terjadi
pada periode sebelumnya.
Tema
yang diangkat dalam sejumlah novel karya perempuan pada masa ini, yaitu:
pertama, yang paling dominan adalah tema sosial yang dibedah dalam bingkai
feminisme untuk melawan dominasi patriarkat dan kekerasan terhadap perempuan
(Saman dan Larung karya Ayu Utami, Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora
karya Abidah El Khalieqy, Tarian Bumi dan Kenanga karya Oka Rusmini, Wajah
Sebuah Vagina karya Naning Pranoto dan Namaku Teweeaut karya Ani Sekarningsih).
Kedua, tema seksualitas, terutama lesbian, gay, dan transeksual (Garis Tepi
Seorang Lesbian karya Herlinatiens, Supernova karya Dewi Lestari, Tabularasa
karya Ratih Kumala). Ketiga, tema kejiwaan, terutama gangguan kejiwaan
(Mahadewa Mahadewi karya Nova Riyanti Yusuf, Dadaisme karya Dewi Sartika, Cala
Ibi karya Nukila Amal, dan Nayla karya Djenar Maesa Ayu). Keempat, tema
kehidupan global, terutama ketika seorang perempuan Indonesia yang tinggal di
luar negeri memilih menikah dengan laki-laki dari bangsa lain (trilogi
Jendela-Jendela karya Fira Basuki).
Dari
segi kuantitas, 45 novelis selama 62 tahun tentu bukanlah jumlah yang banyak,
apalagi kalau dibandingkan dengan jumlah novelis laki-laki. Di samping
kuantitas novelis perempuan yang terbatas, kreativitas dan karya-karya mereka
juga amat jarang dibicarakan dalam buku-buku sejarah sastra. Beberapa buku
sejarah sastra Indonesia modern yang ada dan digunakan dalam pembelajaran
selama ini, misalnya buku Perkembangan Novel Indonesia Modern karya Umar Junus
(1984 tidak membicarakan para pengarang perempuan dan karyanya). Teeuw dalam
Sastra Baru Indonesia (1980) dan Sastra Indonesia Modern II (1989) memang tidak
melupakan kehadiran para pengarang perempuan dalam penulisan sastra Indonesia,
tetapi sebagian besar dari mereka, kecuali NH. Dini, Rahayu Prihatmi, dan Titis
Basino, dikategorikan dalam penulis sastra (fiksi) pop, dengan nilai sastra
yang cenderung rendah (Teuuw, 1989:177-179).
Munculnya
sejumlah penulis perempuan dalam panggung sastra Indonesia tersebut tampaknya
bukan suatu kebetulan, tetapi memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan
transformasi sosiokultural Indonesia, yang antara lain merupakan hasil
perjuangan para feminis yang menuntut eksistensi perempuan dalam kesetaraan
gender. Kehadiran mereka dalam kancah penulisan sastra (novel) menunjukkan
adanya upaya dekonstruksi terhadap sistem patriarkat yang selama ini telah
melahirkan para novelis laki-laki yang telah menguasai sejarah sastra.
2.
Upaya
Pencarian Identitas
Sitok
Srengenge menganggap kemunculan perempuan sastrawan, tak lebih sebagai trend
belaka. Menurutnya, heboh yang terjadi kebanyakan bukan oleh kualitas yang mereka tunjukkan.
Melainkan faktor-faktor lain yang berada di luar kesusastraan. Sitok
mencontohkan Ayu Utami dengan karyanya Saman (Suara Merdeka, 2 Maret 2006).
Faruk (seperti dikutip Kompas, 7 Maret 2004) menganggap munculnya para penulis
perempuan berhubungan dengan perkembangan masyarakat industri. Setelah industri
berkembang semakin maju, banyak kaum lelaki yang cerdas dan berwawasan luas,
tidak berminat menekuni sastra. Industrialisasi membuat para kaum lelaki
menjadi sangat sibuk. Begitu banyak sektor yang lebih menantang dibanding
sektor sastra. Bersamaan dengan itu, pendidikan yang telah tersedia luas baik
bagi laki-laki maupun perempuan sejak 1950, mulai memiliki efek. Di akhir
1960-an, kaum perempuan, sebagai kelompok nonproduktif alias konsumtif, merupakan pangsa pasar
potensial yang besar bagi dunia percetakan. Karena bagi mayoritas perempuan
membaca adalah kegiatan mengisi luang, mereka membaca untuk hiburan. Banyaknya
waktu luang yang dimiliki perempuan membuat mereka tergerak untuk menulis.
Namun karya-karya yang dihasilkan berasal dari catatan harian mereka. Maka dari
itu, mereka banyak berbicara mengenai anak-anak dan lakum perempuan. David
Krisna Alka (Sinar Harapan, 7 Maret 2004 “ Sastra Indonesia, Bukan Gaya Seks,”
yang mengatakan karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan teman-temannya
sebagai karya yang antiintelektualisme, karena karya-karya tersebut menjadikan
imajinasi seks yang begitu liar dan jauh dari kesantunan, seakan tak ada bahan
lain yang lebih mencerdaskan dan menyandarkan daripada mengarang sebuah
selangkangan. Nada yang sama juga dilontarkan oleh seorang sastrawan dan
kritikus senior, Sunarayono Basuki K.S. (Kompas, 4 April 2004, “seks, sastra,
kita”), yang menanggapi karya-karya sastrawan perempuan seperti Ayu Utami,
Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, dan teman-temannya yang memilih mengeksploitasi
seks dan tubuh mereka agar cepat populer dan dikenal secara luas. Dalam hal ini
Basuki juga menyarankan agar para sastrawan perempuan muda tersebut juga
mengeksploitasi masalah-masalah sosial yang tak kunjung tuntas. Di samping itu,
ada juga yang menyebut karya-karya para perempuan tersebut sebagai “sastra
wangi” atau “sastra lendir”, dengan konotasi yang cenderung meremehkan
(Budiman, 2005).
Munculnya
berbagai tanggapan negatif terhadap kreativitas dan karya para penulis
perempuan tersebut, menunjukkan masih dominannya kultur patriarkat, sehingga
mereka belum rela memberikan pengakuan terhadap kreativitas perempuan di sektor
publik. Ketidakadilan gender tampak jelas pada tanggapan-tanggapan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar